Faisal Bantani |
Dari kecintaan budaya leluhur sampai penopang kehidupan.
(bagian pertama dari dua tulisan)
Wong
Banten kudu kesengsem ngagurat tapak leluhur Banten. Aje sampe udan
guru banjir ilmu tapi sing salah dadi kaprah sing bener ore lumrah. Wong
Banten sing iget yen bodo kudu weruh kapan pinter aje keblinger.
Tulisan
diatas adalah himpunan dari tulisan babad Banten yang dihimpun dari
ceita rakyat yang berkembang secara turun temurun yang menunjukkan
semangat untuk tetap melestarikan budaya leluhur. Mendorong masyarakat
Banten untuk mengejar ilmu setinggi-tingginya tapi tetap dengan landasan
keimanan dan hati nurani supaya ketika menjadi pintar tidak menindas
yang lemah dan menghalalkan segala cara dengan kepintarannya. Dengan
semangat yang disarikan tulisan babad diatas itu pula Perguruan Pencak
Silat Bandrong mencanangkan “Deklarasi Perguruan Pencak Silat Bandrong”
di Pulokali Bojonegara, Serang Barat, tanah kelahiran dan tempat
berkembang perguruan silat tersebut sampai saat ini. Pencak Silat
Bandrong adalah seni beladiri tertua asli Banten bersamaan dengan Pencak
Silat Terumbu yang diturunkan oleh Ki Beji yang berasal dari salah satu
lereng Gunung Santri, Bojonegara (Kabupaten Serang, Banten).
Keberadaannya disinyalir sejak sebelum berdirinya kerajaan Banten (1525
M).
Sejarah Pencak Silat Bandrong
Alkisah
pada masa sebelum kesultanan Banten, di salah satu lereng Gunung Santri
diujung Kali Capit (sekarang kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang)
telah menetap seorang sesepuh yang bernama Ki Beji alias Syekh Abdul
Khofi yang bernama asli Ki Agus Jo. Ki Beji mengajarkan agama islam
kepada santri dan murid-murid. Beliau juga mengajarkan jurus-jurus silat
ditempat beliau bermukim yaitu gunung bongkok, Sumurpitu. Diantara
murid beliau dua orang murid utamanya adalah Ki Sarap (Ki Asyraf) dan Ki
Ragil yang berasal dari kampung Gudang Batu Waringin Kurung.
Pada
suatu hari Ki Beji berjalan-jalan menyusuri pesisir sampai dengan
Karanghantu untuk mencari ikan. Di suatu tempat Ki Beji secara tidak
sengaja melihat seorang puteri yang sedang mandi diantara terumbu karang
di Karanghantu, dan pakaian puteri tersebut tersampir dibebatuan
karang. Dalam kebimbangannya Ki Beji pun mengambil pakaian sang puteri
tersebut. Dan ternyata wanita tersebut adalah puteri dari negeri bangsa
jin, yang tidak dapat kembali ke alamnya dikarenakan pakaiannya telah
diambil oleh Ki Beji. Ahirnya dalam kesepakatan mereka berdua, Ki Beji
akan mengembalikan pakaian apabila sang puteri bersedia menikah
dengannya. Ahirnya Ki Beji menikah dengan puteri jin yang diberi nama
Siti Chodijah dan menetap di suatu kampung yang sekarang ini dikenal
sebagai Kampung Terumbu. Dari perkawinannya tersebut Ki Beji dikaruniai
tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan, yaitu Tanjung Anom
(anak pertama), Tanjung Rasa (anak kedua), dan anak ketiga Siti
Badariyah atau Nyi Melati. Anak yang ketiga inilah yang dipersunting
Sultan Hasanudin menjadi istrinya dikemudian hari. Di kampung terumbu
inilah ahirnya Ki Beji menghabiskan hidupnya sambil mengajarkan ilmu
silat Bandrong. Sebelum ajalnya beliau berpesan agar tempat asal beliau
yaitu di lereng Gunung Santri di ujung kali Capit untuk diberi nama
Kampung Beji. Jadi pencak silat yang dikembangkan di Terumbu dan Beji
(daerah sekitar Bojonegara) berasal dari satu guru yaitu Ki Beji.
Perkembangan silat Bandrong di daerah Bojonegara dilakukan oleh dua
orang kakak beradik yaitu Ki Sarap (Ki Asyraf) dan Ki Ragil. Dikisahkan
pada saat kesultanan Banten sudah berdiri dengan sultannya Maulana
Hasanudin, terjadi perselisihan antara senopati kerajaan yang bernama Ki
Semar dengan Ki Sarap. Bentrokan fisik tidak dapat dihindari dari
perselisihan ini. Di satu tempat antara Balagendong dan Kampung
Kemuning, keduanya mengadu ketangkasan dan kesaktian ilmu silatnya.
Dikarenakan mereka berdua sama – sama kuat, tangkas dan sakti kanuragan,
perkelahian itu berlangsung sejak sebelum dzuhur sampai sore menjelang
magrib. Ki Sarap telah mengeluarkan seluruh kemampuan silat Bandrong,
semua jurus, kelit, seliwa kurung, lima pukul, sepak kombinasi, sodok
dan seribu satu langkah telah dikeluarkannya. Tapi Ki Semar juga sama
tangguhnya. Pada ahirnya pertarungan dapat disudahi oleh Ki Sarap dengan
berhasil memenggal kepala Ki Semar dengan menggunakan golok pemberian
Ki Ragil kakanya.
Peristiwa
terbunuhnya Ki Semar oleh Ki Sarap membuat marah Sultan Hasanudin.
Ahirnya Ki Sarap pun ditangkap pihak kerajaan dan dijatuhkan hukuman
mati di tiang gantungan. Tapi ahirnya atas usulan sang permaisuri dengan
pertimbangan bahwa pertarungan itu adalah karena membela diri, bukan
semata-mata karena pembunuhan. Dan juga dengan pertimbangan kerajaan
membutuhkan orang-orang gagah berani, kuat dan berilmu silat tinggi,
ahirnya Ki Sarap bebas dari semua hukuman dengan lolos dari ujian yang
diberikan oleh Sultan Hasanudin terlebih dahulu. Dengan kesaktian dan
ketinggian ilmunya tersebut Ki Sarap menggantikan posisi Ki Semar
sebagai seorang senopati. Kemudian Ki Sarap diberi gelar kehormatan
yaitu ” SENOPATI NURBAYA ”.
Senopati
Nurbaya yang kemudian dikenal Ki Urbaya menjalankan tugas utamanya
untuk mengamankan wilayah laut jawa terutama teluk banten dan pelabuhan
Karanghantu. Beliau bermarkas di ” BOJO – NAGARA ” untuk menghadapi para
bajak laut yang mereka sebut BAJAG – NAGARA, para bajak laut itu
bermarkas di Tanjung. Karena tugasnya selalu menjaga laut, akhirnya nama
Ki Sarap lebih populer dengan gelarnya : ”KI JAGABAYA” atau ”KI JAGA
LAUT”. Saat usianya menjelang senja, Ki Patih Nurbaya menyadari tentang
pentingnya kaderisasi atau generasi penerus. Beliau berniat menurunkan
ilmunya terutama ketangkasan khusus yaitu ilmu beladiri ” Pencak Silat
Banten” yang disebutnya ” Bandrong” , ilmu itu secara khusus diturunkan
kepada putra Sultan Maulana Hasanudin, selanjutnya para punggawa dan
prajurit serta murid – muridnya yang berada di Pulokali dan Gudang batu
Waringin Kurung.
Selanjutnya
pendidikan ketangkasan dan kedigjayaan itu dipusatkan di Pulokali dan
dibina langsung oleh kedua kakak beradik Ki Sarap dan Ki Ragil.
Disanalah mereka berdua menghabiskan masa tuanya, kemudian setelah
dipangil menghadap Yang Maha Kuasa, mereka berdua dimakamkan di
pemakaman umum di daerah Kahal wilayah Kecamatan Bojonegara. Hingga
sekarang tempat itu dikenal dengan sebutan ” MAKAM KI KAHAL” dan
alhamdulillah sampai sekarang banyak masyarakat yang datang
mengziarahinya terutama para pesilat Bandrong yang saat ini sudah
menyebar di lima propinsi di Indonesia.
Asal Usul nama Silat Bandrong.
Mengingat
kesetiaan masyarakat di kawasan Gunung Santri, Gudang Batu, dan
Pulokali terhadap Kesultanan Banten, maka diresmikanlah Bojonegara
artinya Bojone Negara ( istri negara ). Sedangkan silat asli Banten
diberi nama BANDRONG, diambil dari nama jenis ikan terbang yang sangat
gesit dan dapat melompat tinggi, jauh, atau dapat menyerang keras dengan
moncongnya yang sangat panjang dan bergerigi tajam sekali, sehingga ia
merupakan ikan yang sangat berbahaya, sekali serang dapat membinasakan
musuhnya. Ki Patih Jaga Laut atau patih yang selalu melanglang buana
menjaga laut, sangat menyukai dan sering memperhatikan ikan tangkas
gesit ini dan juga jangkauan lompatan jarak jauhnya dan hal itu benar –
benar mempesonanya. Sehingga akhirnya beliau mengambil nama ikan itu
untuk memberi nama ilmu ketangkasan beladiri yang dimilikinya dengan
nama ” PENCAK SILAT BANDRONG” karena tangkas dan gesit serta berbahaya
seperti ikan Bandrong.
Perkembangan Pencak Silat Bandrong dari Masa ke Masa.
Sekitar
tahun 1920 – 1940 M, pada saat Bandrong dipimpin oleh Guru Besar Ki
Marip, datang seorang tokoh persilatan Betawi dari Cempaka Putih Jakarta
ke pesisir Pulokali Bojonegara, yang bernama Hilmi, yang populer
disebut Bang Imi. Kedatangannya untuk bersilaturahmi dan ingin menambah
wawasan dan pengetahuan di bidang persilatan Banten. Bang Imi adalah
pesilat yang menguasai silat Kwitang Betawi. Dalam perkenalannya Ki
Marip dan Bang Imi bertukar jurus dalam sebuah pertarungan silat. Dan
hanya dalam beberapa langkah Bang Imi dapat dijatuhkan oleh Ki Marip.
Dari peristiwa inilah ahirnya Ki Marip dan Bang Imi menjalin
persahabatan erat yang pada masa mendatang mempengaruhi aliran Bandrong
dengan variasi dan pendalaman jurusnya karena ada unsur silat Kwitang
Betawi yang menambah wacana seni yang berbeda. Masuknya unsur-unsur dari
aliran silat lain seperti Cimande, Beksi, Kung Fu, Merpati Putih, dll
juga menambah kekayaan jurus dan gerak dari aliran Bandrong.
Dari kedua guru besar itu perguruan silat Bandrong berkembang di
seputar Bojoneagara, Cilegon, dan Lampung. Terdapat sekitar 30 padepokan
silat Bandrong yang tersebar di ketiga daerah tersebut. Masing-masing
padepokan mempunyai nama yang berbeda satu dengan yang lain. Tapi tetap
mereka berasal dari aliran yang sama yaitu silat Bandrong. Sebut saja
beberapa nama seperti Bandrong Sapu Jagat, Bandrong Banteng Malang,
Bandrong Jalak Emas, dll. Semua perguruan memakai nama Bandrong didepan
nama padepokannya karena mereka berasal dari aliran yang sama. Hanya
penambahan gerak dan variasi dari unsur silat betawi dan aliran silat
lain membedakan satu padepokan dengan padepokan yang lain.
Murid dan anggota Silat Bandrong tersebar di berbagai daerah tapi tidak
terorganisir dengan baik. Hal ini menimbulkan keprihatinan dari para
sesepuh dan keluarga besar Bandrong. Atraksi dan seni Bandrong dikenal
luas sampai manca negara tapi tetap bagaikan organisasi tanpa bentuk,
terkenal dan populer tapi tidak jelas siapa yang bertanggung jawab.
Menyadari akan hal ini dan didorong oleh semangat untuk mengangkat jati
diri dan kiprah Perguruan Pencak Silat Bandrong, beberapa tokoh
persilatan Bandrong pada tahun 2001 mengadakan musyawarah secara maraton
yang menghasilkan suatu kesepakatan dan kebulatan tekad “Perguruan
Pencak Silat Bandrong harus bangkit kembali.”
Deklarasi Perguruan Silat Bandrong
Dalam
rangka menggali dan melestarikan budaya leluhur Banten, Pencak Silat
Bandrong melakukan upaya-upaya pelestarian melalui kegiatan reorganisasi
dan pemberdayaan kader-kader Perguruan Pencak Silat Bandrong secara
modern dan profesional. Sehingga seni beladiri Bandrong dapat terus
mentransformasikan diri dalam dinamika perkembangan jaman. Dan
senantiasa memegang teguh amanat leluhur tanpa harus kehilangan jatidiri
sebagai pendekar Bandrong. Berkenaan dengan hal tersebut maka diadakan
“Deklarasi Perguruan Pencak Silat Bandrong” dalam rangka Ngagurat Tapak Leluhur Banten
agar diketahui dan dihayati oleh generasi penerus sebagai simbol
jatidiri serta pengembangan moral dan sebagai sarana olahraga,
belanegara, dan amar maruf nahi munkar.
Berdasar dari kegiatan ini Pencak Silat Bandrong ngagurat tapak leluhur
sekaligus mempersatukan diri dalam suatu wadah organisasi yang bersifat
independen dan merupakan organisasi kader. Setelah berabad-abad
dilupakan orang yang bisa dibilang hidup enggan mati tak mau, para tokoh
mencanangkan unifikasi untuk bangkit, berdiri dan bergerak. Dengan
dikawal oleh tim sebelas yang terdiri dari sebelas orang tokoh-tokoh
Bandrong yang tergabung dalam tim formatur, ahirnya pada bulan Januari
2001 terbentuklah Dewan Pimpinan Pusat Perguruan Pencak Silat Bandrong
Periode Deklarasi dan Kebangkitan secara lengkap dengan susunan
pengurusnya. Bertempat di Pulokali Bojonegara menetapkan Drs KH Mansyur
Muhyidin sebagai Ketua Umum dan A Rafei Sanid sebagai Sekertaris Umum
untuk periode 2001 – 2005.
Sinergi kecintaan Seni Budaya dan Pemberdayaan Ekonomi
Selain
berkonsentrasi terhadap perkembangan dan kelestarian seni dan budaya
pencak silat, Bandrong merupakan suatu wadah pemberdayaan anggotanya
dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Dinamika kehidupan global yang
semakin cepat, luas, dan kompleks, yang dengan ditandai pesatnya ilmu
pengetahuan dan tehnologi. Pada sebagian besar masyarakat, dinamika
globalisasi tersebut menjadi faktor utama yang menyebabkan marginalisasi
mereka terhadap lingkungan baik lokal maupun internasional. Untuk
menghadapi tantangan tersebut diperlukan langkah-langkah strategis untuk
memberdayakan masyarakat disemua bidang kehidupan secara holistik
integral. Diperlukan program-program pokok yang mampu memberikan multiplier effect bagi meningkatnya kualitas sumber daya manusia.
Untuk itu Bandrong sebagai organisasi yang menaungi anggotanya
melakukan langkah-langkah strategis dengan pendekatan yang tepat. Selain
program kerja yang menitik beratkan kepada aspek seni budaya dan
kaderisasi, keterampilan ekonomi merupakan salah satu program kerja yang
disusun secara konkret untuk menopang kesejahteraan anggotanya. Untuk
itu Perguruan Pencak Silat Bandrong membentuk badan-badan otonom atau
kelembagaan seperti Yayasan Kebangkitan Bandrong dan Koperasi Bandrong
Mandiri. Suatu semangat wirausaha yang dikembangkan dilingkungan
Keluarga Besar Perguruan Pencak Silat Bandrong untuk menghilangkan kesan
bahwa umumnya para pesilat hidupnya terlantar dan miskin, yang hanya
bisa diadu-adu saja. Banyak orang merasa pesimis dengan semangat
yang dicanangkan Perguruan Pencak Silat Bandrong dalam menjadikan
organisasinya sebagai wadah usaha anggotanya. Tapi dengan semangat
modernisasi dan kesungguhan, diharapkan Perguruan Pencak Silat Bandrong
Banten dapat menjadi wadah yang positif bagi anggotanya karena “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu mau mengubah nasibnya sendiri”.
Penutup
Suatu
keteladanan luar biasa yang dilakukan oleh Perguruan Pencak Silat
Bandrong Banten dalam membangkitkan lagi budaya dan seni pencak silat
asli Banten. selain ngagurat tapak leluhur, yang berarti menggali dan melestarikan kebudayaan dari para leluhur, juga mengaplikasikan Wong Banten sing iget yen bodo kudu weruh kapan pinter aje keblinger. Sinergi
antara kecintaan terhadap seni dan budaya juga diberikan wadah kegiatan
ekonomi yang jadi penopang kehidupan bagi para anggota Perguruan Pencak
Silat Bandrong. Semoga apa yang telah dilakukan Perguruan Pencak Silat
Bandrong menstimulus perguruan pencak silat lain untuk membangkitkan
lagi seni dan budaya pencak silat asli Banten yang bersinergi dengan
kegiatan ekonomi dan sosial. Jangan sampai stigma yang berkembang
dimasyarakat bahwa persilatan Banten dengan Kependekarannya hanya hidup
dan terlihat pada saat Kampanye Pemilukada saja. Dan semoga kesolidan
Perguruan Pencak Silat Bandrong tidak terpecah belah antara para
sesepuh, padepokan, atau daerah, seiring dengan perbedaan dukungan
terhadap partai politik tertentu atau calon pemimpin daerah tertentu
yang sedang giat mencari dukungan untuk pencalonan dirinya. (Faisal
Bantani).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar