WELCOME TO THE WORLD OF INFORMATION

MUHAMMAD EKA CAHYA

Senin, 26 September 2011

Sejarah Pencak Silat Bandrong

                   Faisal Bantani

Dari kecintaan budaya leluhur sampai penopang kehidupan.
(bagian pertama dari dua tulisan)

Wong Banten kudu kesengsem ngagurat tapak leluhur Banten. Aje sampe udan guru banjir ilmu tapi sing salah dadi kaprah sing bener ore lumrah. Wong Banten sing iget yen bodo kudu weruh kapan pinter aje keblinger.


Tulisan diatas adalah himpunan dari tulisan babad Banten yang dihimpun dari ceita rakyat yang berkembang secara turun temurun yang menunjukkan semangat untuk tetap melestarikan budaya leluhur. Mendorong masyarakat Banten untuk mengejar ilmu setinggi-tingginya tapi tetap dengan landasan keimanan dan hati  nurani supaya ketika menjadi pintar tidak menindas yang lemah dan menghalalkan segala cara dengan kepintarannya. Dengan semangat yang disarikan tulisan babad diatas itu pula Perguruan Pencak Silat Bandrong mencanangkan “Deklarasi Perguruan Pencak Silat Bandrong” di Pulokali Bojonegara, Serang Barat, tanah kelahiran dan tempat berkembang perguruan silat tersebut sampai saat ini. Pencak Silat Bandrong adalah seni beladiri tertua asli Banten bersamaan dengan Pencak Silat Terumbu yang diturunkan oleh Ki Beji yang berasal dari salah satu lereng Gunung Santri, Bojonegara (Kabupaten Serang, Banten). Keberadaannya disinyalir sejak sebelum berdirinya kerajaan Banten (1525 M).

Sejarah Pencak Silat Bandrong
Alkisah pada masa sebelum kesultanan Banten, di salah satu lereng Gunung Santri diujung Kali Capit (sekarang kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang) telah menetap seorang sesepuh yang bernama Ki Beji alias Syekh Abdul Khofi yang bernama asli Ki Agus Jo. Ki Beji mengajarkan agama islam kepada santri dan murid-murid. Beliau juga mengajarkan jurus-jurus silat ditempat beliau bermukim yaitu gunung bongkok, Sumurpitu. Diantara murid beliau dua orang murid utamanya adalah Ki Sarap (Ki Asyraf) dan Ki Ragil yang berasal dari kampung Gudang Batu Waringin Kurung.
Pada suatu hari Ki Beji berjalan-jalan menyusuri pesisir sampai dengan Karanghantu untuk mencari ikan. Di suatu tempat Ki Beji secara tidak sengaja melihat seorang puteri yang sedang mandi diantara terumbu karang di Karanghantu, dan pakaian puteri tersebut tersampir dibebatuan karang. Dalam kebimbangannya Ki Beji pun mengambil pakaian sang puteri tersebut. Dan ternyata wanita tersebut adalah puteri dari negeri bangsa jin, yang tidak dapat kembali ke alamnya dikarenakan pakaiannya telah diambil oleh Ki Beji. Ahirnya dalam kesepakatan mereka berdua, Ki Beji akan mengembalikan pakaian apabila sang puteri bersedia menikah dengannya. Ahirnya Ki Beji menikah dengan puteri jin yang diberi nama Siti Chodijah dan menetap di suatu kampung yang sekarang ini dikenal sebagai Kampung Terumbu. Dari perkawinannya tersebut Ki Beji dikaruniai tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan, yaitu Tanjung Anom (anak pertama), Tanjung Rasa (anak kedua), dan anak ketiga Siti Badariyah atau Nyi Melati. Anak yang ketiga inilah yang dipersunting Sultan Hasanudin menjadi istrinya dikemudian hari. Di kampung terumbu inilah ahirnya Ki Beji menghabiskan hidupnya sambil mengajarkan ilmu silat Bandrong. Sebelum ajalnya beliau berpesan agar tempat asal beliau yaitu di lereng Gunung Santri di ujung kali Capit untuk diberi nama Kampung Beji. Jadi pencak silat yang dikembangkan di Terumbu dan Beji (daerah sekitar Bojonegara) berasal dari satu guru yaitu Ki Beji.
                Perkembangan silat Bandrong di daerah Bojonegara dilakukan oleh dua orang kakak beradik yaitu Ki Sarap (Ki Asyraf) dan Ki Ragil. Dikisahkan pada saat kesultanan Banten sudah berdiri dengan sultannya Maulana Hasanudin, terjadi perselisihan antara senopati kerajaan yang bernama Ki Semar dengan Ki Sarap. Bentrokan fisik tidak dapat dihindari dari perselisihan ini. Di satu tempat antara Balagendong dan Kampung Kemuning, keduanya mengadu ketangkasan dan kesaktian ilmu silatnya. Dikarenakan mereka berdua sama – sama kuat, tangkas dan sakti kanuragan, perkelahian itu berlangsung sejak sebelum dzuhur sampai sore menjelang magrib. Ki Sarap telah mengeluarkan seluruh kemampuan silat Bandrong, semua jurus, kelit, seliwa kurung, lima pukul, sepak kombinasi, sodok dan seribu satu langkah telah dikeluarkannya. Tapi Ki Semar juga sama tangguhnya. Pada ahirnya pertarungan dapat disudahi oleh Ki Sarap dengan berhasil memenggal kepala Ki Semar dengan menggunakan golok pemberian Ki Ragil kakanya. 
Peristiwa terbunuhnya Ki Semar oleh Ki Sarap membuat marah Sultan Hasanudin. Ahirnya Ki Sarap pun ditangkap pihak kerajaan dan dijatuhkan hukuman mati di tiang gantungan. Tapi ahirnya atas usulan sang permaisuri dengan pertimbangan bahwa pertarungan itu adalah karena membela diri, bukan semata-mata karena pembunuhan. Dan juga dengan pertimbangan kerajaan membutuhkan orang-orang gagah berani, kuat dan berilmu silat tinggi, ahirnya Ki Sarap bebas dari semua hukuman dengan lolos dari ujian yang diberikan oleh  Sultan Hasanudin terlebih dahulu. Dengan kesaktian dan ketinggian ilmunya tersebut Ki Sarap menggantikan posisi Ki Semar sebagai seorang senopati. Kemudian Ki Sarap diberi gelar kehormatan yaitu ” SENOPATI NURBAYA ”.
Senopati Nurbaya yang kemudian dikenal Ki Urbaya menjalankan tugas utamanya untuk mengamankan wilayah laut jawa terutama teluk banten dan pelabuhan Karanghantu. Beliau bermarkas di ” BOJO – NAGARA ” untuk menghadapi para bajak laut yang mereka sebut BAJAG – NAGARA, para bajak laut itu bermarkas di Tanjung. Karena tugasnya selalu menjaga laut, akhirnya nama Ki Sarap lebih populer dengan gelarnya : ”KI JAGABAYA” atau ”KI JAGA LAUT”. Saat usianya menjelang senja, Ki Patih Nurbaya menyadari tentang pentingnya kaderisasi atau generasi penerus. Beliau berniat menurunkan ilmunya terutama ketangkasan khusus yaitu ilmu beladiri ” Pencak Silat Banten” yang disebutnya ” Bandrong” , ilmu itu secara khusus diturunkan kepada putra Sultan Maulana Hasanudin, selanjutnya para punggawa dan prajurit serta murid – muridnya yang berada di Pulokali dan Gudang batu Waringin Kurung.
Selanjutnya pendidikan ketangkasan dan kedigjayaan itu dipusatkan di Pulokali dan dibina langsung oleh kedua kakak beradik Ki Sarap dan Ki Ragil. Disanalah mereka berdua menghabiskan masa tuanya, kemudian setelah dipangil menghadap Yang Maha Kuasa, mereka berdua dimakamkan di pemakaman umum di daerah Kahal wilayah Kecamatan Bojonegara. Hingga sekarang tempat itu dikenal dengan sebutan ” MAKAM KI KAHAL” dan alhamdulillah sampai sekarang banyak masyarakat yang datang mengziarahinya terutama para pesilat Bandrong yang saat ini sudah menyebar di lima propinsi di Indonesia.
Asal Usul nama Silat Bandrong.
Mengingat kesetiaan masyarakat di kawasan Gunung Santri, Gudang Batu, dan Pulokali terhadap Kesultanan Banten, maka diresmikanlah Bojonegara artinya Bojone Negara ( istri negara ). Sedangkan silat asli Banten diberi nama BANDRONG, diambil dari nama jenis ikan terbang yang sangat gesit dan dapat melompat tinggi, jauh, atau dapat menyerang keras dengan moncongnya yang sangat panjang dan bergerigi tajam sekali, sehingga ia merupakan ikan yang sangat berbahaya, sekali serang dapat membinasakan musuhnya. Ki Patih Jaga Laut atau patih yang selalu melanglang buana menjaga laut, sangat menyukai dan sering memperhatikan ikan tangkas gesit ini dan juga jangkauan lompatan jarak jauhnya dan hal itu benar – benar mempesonanya. Sehingga akhirnya beliau mengambil nama ikan itu untuk memberi nama ilmu ketangkasan beladiri yang dimilikinya dengan nama ” PENCAK SILAT BANDRONG” karena tangkas dan gesit serta berbahaya seperti ikan Bandrong.

Perkembangan Pencak Silat Bandrong dari Masa ke Masa.
Sekitar tahun 1920 – 1940 M, pada saat Bandrong dipimpin oleh Guru Besar Ki Marip, datang seorang tokoh persilatan Betawi dari Cempaka Putih Jakarta ke pesisir Pulokali Bojonegara, yang bernama Hilmi, yang populer disebut Bang Imi. Kedatangannya untuk bersilaturahmi dan ingin menambah wawasan dan pengetahuan di bidang persilatan Banten. Bang Imi adalah pesilat yang menguasai silat Kwitang Betawi. Dalam perkenalannya Ki Marip dan Bang Imi bertukar jurus dalam sebuah pertarungan silat. Dan hanya dalam beberapa langkah Bang Imi dapat dijatuhkan oleh Ki Marip. Dari peristiwa inilah ahirnya Ki Marip dan Bang Imi menjalin persahabatan erat yang pada masa mendatang mempengaruhi aliran Bandrong dengan variasi dan pendalaman jurusnya karena ada unsur silat Kwitang Betawi yang menambah wacana seni yang berbeda. Masuknya unsur-unsur dari aliran silat lain seperti Cimande, Beksi, Kung Fu, Merpati Putih, dll juga menambah kekayaan jurus dan gerak dari aliran Bandrong.
                Dari kedua guru besar itu perguruan silat Bandrong berkembang di seputar Bojoneagara, Cilegon, dan Lampung. Terdapat sekitar 30 padepokan silat Bandrong yang tersebar di ketiga daerah tersebut. Masing-masing padepokan mempunyai nama yang berbeda satu dengan yang lain. Tapi tetap mereka berasal dari aliran yang sama yaitu silat Bandrong. Sebut saja beberapa nama seperti Bandrong Sapu Jagat, Bandrong Banteng Malang, Bandrong Jalak Emas, dll. Semua perguruan memakai nama Bandrong didepan nama padepokannya karena mereka berasal dari aliran yang sama. Hanya penambahan gerak dan variasi dari unsur silat betawi dan aliran silat lain membedakan satu padepokan dengan padepokan yang lain.
                Murid dan anggota Silat Bandrong tersebar di berbagai daerah tapi tidak terorganisir dengan baik. Hal ini menimbulkan keprihatinan dari para sesepuh dan keluarga besar Bandrong. Atraksi dan seni Bandrong dikenal luas sampai manca negara tapi tetap bagaikan organisasi tanpa bentuk, terkenal dan populer tapi tidak jelas siapa yang bertanggung jawab. Menyadari akan hal ini dan didorong oleh semangat untuk mengangkat jati diri dan kiprah Perguruan Pencak Silat Bandrong, beberapa tokoh persilatan Bandrong pada tahun 2001 mengadakan musyawarah secara maraton yang menghasilkan suatu kesepakatan dan kebulatan tekad “Perguruan Pencak Silat Bandrong harus bangkit kembali.”

Deklarasi Perguruan Silat Bandrong
Dalam rangka menggali dan melestarikan budaya leluhur Banten, Pencak Silat Bandrong melakukan upaya-upaya pelestarian melalui kegiatan reorganisasi dan pemberdayaan kader-kader Perguruan Pencak Silat Bandrong secara modern dan profesional. Sehingga seni beladiri Bandrong dapat terus mentransformasikan diri dalam dinamika perkembangan jaman. Dan senantiasa memegang teguh amanat leluhur tanpa harus kehilangan jatidiri sebagai pendekar Bandrong. Berkenaan dengan hal tersebut maka diadakan “Deklarasi Perguruan Pencak Silat Bandrong” dalam rangka Ngagurat Tapak Leluhur Banten agar diketahui dan dihayati oleh generasi penerus sebagai simbol jatidiri serta pengembangan moral dan sebagai sarana olahraga, belanegara, dan amar maruf nahi munkar.
                Berdasar dari kegiatan ini Pencak Silat Bandrong ngagurat tapak leluhur sekaligus mempersatukan diri dalam suatu wadah organisasi yang bersifat independen dan merupakan organisasi kader. Setelah berabad-abad dilupakan orang yang bisa dibilang hidup enggan mati tak mau, para tokoh mencanangkan unifikasi untuk bangkit, berdiri dan bergerak. Dengan dikawal oleh tim sebelas yang terdiri dari sebelas orang tokoh-tokoh Bandrong yang tergabung dalam tim formatur, ahirnya pada bulan Januari 2001 terbentuklah Dewan Pimpinan Pusat Perguruan Pencak Silat Bandrong Periode Deklarasi dan Kebangkitan secara lengkap dengan susunan pengurusnya. Bertempat di Pulokali Bojonegara menetapkan Drs KH Mansyur Muhyidin sebagai Ketua Umum dan A Rafei Sanid sebagai Sekertaris Umum untuk periode 2001 – 2005.

Sinergi kecintaan Seni Budaya dan Pemberdayaan Ekonomi
Selain berkonsentrasi terhadap perkembangan dan kelestarian seni dan budaya pencak silat, Bandrong merupakan suatu wadah pemberdayaan anggotanya dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Dinamika kehidupan global yang semakin cepat, luas, dan kompleks, yang dengan ditandai pesatnya ilmu pengetahuan dan tehnologi. Pada sebagian besar masyarakat, dinamika globalisasi tersebut menjadi faktor utama yang menyebabkan marginalisasi mereka terhadap lingkungan baik lokal maupun internasional. Untuk menghadapi tantangan tersebut diperlukan langkah-langkah strategis untuk memberdayakan masyarakat disemua bidang kehidupan secara holistik integral. Diperlukan program-program pokok yang mampu memberikan multiplier effect bagi meningkatnya kualitas sumber daya manusia.
                Untuk itu Bandrong sebagai organisasi yang menaungi anggotanya melakukan langkah-langkah strategis dengan pendekatan yang tepat. Selain program kerja yang menitik beratkan kepada aspek seni budaya dan kaderisasi, keterampilan ekonomi merupakan salah satu program kerja yang disusun secara konkret untuk menopang kesejahteraan anggotanya. Untuk itu Perguruan Pencak Silat Bandrong membentuk badan-badan otonom atau kelembagaan seperti Yayasan Kebangkitan Bandrong dan Koperasi Bandrong Mandiri. Suatu semangat wirausaha yang dikembangkan dilingkungan Keluarga Besar Perguruan Pencak Silat Bandrong untuk menghilangkan kesan bahwa umumnya para pesilat hidupnya terlantar dan miskin, yang hanya bisa diadu-adu saja. Banyak orang merasa pesimis dengan semangat yang dicanangkan Perguruan Pencak Silat Bandrong dalam menjadikan organisasinya sebagai wadah usaha anggotanya. Tapi dengan semangat modernisasi dan kesungguhan, diharapkan Perguruan Pencak Silat Bandrong Banten dapat menjadi wadah yang positif bagi anggotanya karena “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu mau mengubah nasibnya sendiri”.
Penutup
Suatu keteladanan luar biasa yang dilakukan oleh Perguruan Pencak Silat Bandrong Banten dalam membangkitkan lagi budaya dan seni pencak silat asli Banten. selain ngagurat tapak leluhur, yang berarti menggali dan melestarikan kebudayaan dari para leluhur, juga mengaplikasikan  Wong Banten sing iget yen bodo kudu weruh kapan pinter aje keblinger. Sinergi antara kecintaan terhadap seni dan budaya juga diberikan wadah kegiatan ekonomi yang jadi penopang kehidupan bagi para anggota Perguruan Pencak Silat Bandrong. Semoga apa yang telah dilakukan Perguruan Pencak Silat Bandrong menstimulus perguruan pencak silat lain untuk membangkitkan lagi seni dan budaya pencak silat asli Banten yang bersinergi dengan kegiatan ekonomi dan sosial. Jangan sampai stigma yang berkembang dimasyarakat bahwa persilatan Banten dengan Kependekarannya hanya hidup dan terlihat pada saat Kampanye Pemilukada saja. Dan semoga kesolidan Perguruan Pencak Silat Bandrong tidak terpecah belah antara para sesepuh, padepokan, atau daerah, seiring dengan perbedaan dukungan terhadap partai politik tertentu atau calon pemimpin daerah tertentu yang sedang giat mencari dukungan untuk pencalonan dirinya. (Faisal Bantani).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar